Semangat Ulama dalam Menjaga Kemurnian Hadits


Orang yang mengkaji kitab-kitab sejarah yang menjelaskan biografi para imam ahli hadits niscaya akan mengetahui bahwa para ulama salaf telah menghabiskan umurnya untuk memelihara kemurnian hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyingkap kedok para pemalsu hadits, orang-orang yang lemah dalam periwayatan, serta memilah riwayat-riwayat yang sahih dan yang tertolak.

Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh kisah para ulama hadits tersebut.

Melakukan Rihlah (Perjalanan) untuk Mencari Sanad Hadits

1. Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah mengatakan, “Sungguh, aku menempuh perjalanan beberapa hari dan malam untuk mendapatkan satu hadits.” (Al-Jami’, Ibnu Abdil Barr, 1/93)

2. Abu Aliyah ar-Riyahi rahimahullah berkata, “Kami mendengarkan riwayat di Bashrah dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, kami tidak senang hingga kami berangkat menuju Madinah dan mendengar langsung dari mulut mereka.” (Sunan ad-Darimi, 1/144)

3. Diriwayatkan pula dari Nashr bin Hammad al-Warraq, ia berkata: Suatu ketika kami duduk di depan pintu rumah Syu’bah bin al-Hajjaj, sambil muraja’ah (mengulang) hadits. Aku berkata, “Israil (nama seorang perawi-admin) telah memberitakan kepada kami, dari Abu Ishaq, dari Abdullah bin Atha’, dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kami bergantian mengurus unta. Suatu hari aku datang sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikelilingi oleh para sahabatnya. Aku mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَاسْتَغْفَرَ اللهَ إِلَّا غَفَرَ لَهُ

Barang siapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, lalu shalat dua rakaat dan memohon ampun kepada Allah ta’ala, Allah ta’ala pasti mengampuninya.

Aku (Uqbah) berkata, ‘Alangkah bagusnya!’ Lalu ada seseorang dari belakangku menarikku. Aku pun menoleh, ternyata dia adalah ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, ‘Yang sebelumnya lebih bagus lagi!’ Aku bertanya, ‘Apa sebelumnya?’ Beliau menjawab, ‘Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ شَهِدَ أَلَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ قِيلَ لَهُ: ادْخُلْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتَ

Barang siapa yang bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu kehendaki’.

Syu’bah pun keluar dan memukulku lalu kembali masuk ke rumahnya. Aku pun menjauh.

Syu’bah lalu keluar lagi dan bertanya, “Mengapa dia menangis?”

Abdullah bin Idris menjawabnya, “Engkau telah mengasarinya!”

Lalu Syu’bah berkata, “Perhatikan hadits yang engkau sampaikan! Abu Ishaq memberitakan kepadaku hadits ini dari Abdullah bin Atha’, dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu. Kami pun bertanya kepada Abu Ishaq, ‘Siapa Abdullah bin Atha’?’ Abu Ishaq pun marah. Ketika itu ada Mis’ar bin Kidam. Aku pun berkata kepadanya, ‘Sampaikan yang benar kepadaku tentang ini, atau aku akan membakar semua riwayat yang aku tulis darimu!’ Mis’ar menjawab, ‘Abdullah bin Atha’ di Makkah.’

Syu’bah berkata, ‘Aku akan berangkat ke Makkah, namun tidak untuk menunaikan haji. Aku menginginkan hadits ini.’ Aku pun bertemu Abdullah bin Atha’, lalu aku bertanya kepadanya. Dia menjawab, ‘Yang memberitakan kepadaku adalah Sa’d bin Ibrahim.’ Malik bin Anas lalu berkata kepadaku, ‘Sa’d ada di Madinah. Akan tetapi, tahun ini dia tidak menunaikan haji’.”

Syu’bah berkata, “Aku pun berangkat ke Madinah dan bertemu Sa’d bin Ibrahim. Lalu aku bertanya kepadanya. Dia menjawab, ‘Hadits ini berasal dari negeri kalian. Yang memberitakan kepadaku adalah Ziyad bin Mikhraq’.”

Syu’bah berkata, “Tatkala dia menyebut nama Ziyad, aku berkata, ‘Hadits apa ini, yang tadinya riwayat Kufah, kemudian Madinah, lalu Bashrah?!’

Aku pun berangkat kembali ke Bashrah dan bertemu Ziyad bin Mikhraq, lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, ‘Ini bukan bagianmu!’ Aku berkata, ‘Ayo, beritakan hadits ini kepadaku!’

Dia menjawab, ‘Engkau tidak memerlukannya.’ Aku mendesak lagi, ‘Beritakan kepadaku.’

Dia pun berkata, ‘Syahr bin Hausyab memberitakan kepadaku dari Abu Raihanah, dari Uqbah bin Amir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam’.”

Syu’bah pun berkata, “Tatkala dia menyebut nama Syahr bin Hausyab, aku pun berkata, ‘Dia telah merusak hadits ini. Seandainya ini sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku lebih menyukainya daripada keluargaku, hartaku, dan seluruh manusia’.” (Taqdimah al-Jarh wat-Ta’dil hlm. 167, Adh-Dhu’afa al-Kabir, 2/191, Al-Hilyah, 7/148)

Menguji Ketsiqahan Perawi

Diriwayatkan dari Ahmad bin Manshur ar-Ramadi, dia berkata: Aku pergi bersama Ahmad (bin Hambal) dan Yahya (bin Ma’in) mendatangi Abdurrazzaq (Ash-Shan’ani). Aku pun melayani keduanya.

Tatkala kami kembali ke Kufah, Yahya bin Ma’in mengatakan, “Aku ingin menguji hafalan Abu Nu’aim (Al-Fadhl bin Dukain).” Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya, “Jangan, dia seorang yang tsiqah.” Yahya menjawab, “Aku harus melakukannya.”

Dia pun mengambil secarik kertas, lalu menulis tiga puluh hadits dari hadits Abu Nua’im, lalu dia menambahkan sebuah hadits yang bukan hadits Abu Nu’aim pada akhir setiap sepuluh hadits. Mereka pun mendatangi Abu Nu’aim.

Waktu itu, Abu Nu’aim sedang di luar rumah, duduk di tanah yang tinggi. Yahya lalu mengeluarkan kertas tersebut dan membacakan sepuluh hadits. Ketika membaca hadits yang kesebelas, Abu Nu’aim berkata, “Ini bukan haditsku, hapuslah.”

Yahya lalu membaca sepuluh hadits berikutnya dan Abu Nu’aim diam. Tatkala Yahya membaca hadits susupan yang kedua, dia berkata, “Ini bukan haditsku, hapuslah.”

Yahya kemudian membaca sepuluh hadits yang berikutnya dan membaca hadits susupan yang ketiga. Berubahlah wajah Abu Nu’aim. Sambil menajamkan pandangannya dan menghadap kepada Yahya, dia berkata: “Orang ini—sambil memegang lengan Ahmad—dia terlalu wara’ (bersikap hati-hati) untuk melakukan hal ini. Adapun orang ini—dia memaksudkan aku (Ahmad bin Manshur)— tidak mungkin melakukannya. Ini tentu perbuatanmu, wahai pelaku!” sambil mengeluarkan kakinya, lalu menendang dan melempar Yahya. Dia pun berdiri dan masuk ke rumahnya.

Ahmad bin Hanbal lalu berkata kepada Yahya, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa dia tepercaya?” Yahya menjawab, “Demi Allah, tendangan ini lebih aku sukai daripada safarku ini.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Yahya berdiri lalu mencium Abu Nu’aim dan berkata, “Jazakallahu khair (semoga Allah ta’ala membalas kebaikanmu). Seperti engkaulah seharusnya orang yang memberitakan hadits. Aku hanya ingin mengujimu.” (Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits hlm. 207, Tarikh Baghdad 12/353)

Mencegah Perawi yang Telah Melemah Hafalannya

Al-Bardza’i mengatakan, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah, ‘Apakah Qurrah bin Habib hafalannya berubah?’.” Abu Zur’ah menjawab, “Iya. Kami mengingkari riwayatnya di masa akhir hidupnya. Hanya saja, dia tidak memberitakan hadits kecuali dari kitabnya. Dia juga tidak menyampaikan hadits tanpa kehadiran anaknya (Ali bin Qurrah) di sisinya.”

Abu Zur’ah lalu tersenyum. Aku pun bertanya, “Mengapa engkau tersenyum?”

Abu Zur’ah menjawab, “Suatu hari, aku bersama Abu Hatim mendatangi Qurrah (bin Habib). Kami mengetuk pintu untuk meminta izin kepadanya. Dia pun mendekati pintu, membukakannya untuk kami. Tiba-tiba anak perempuannya menyusul dari belakang sembari berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mereka ini adalah para periwayat hadits. Aku tidak merasa aman, jangan sampai mereka mempermainkanmu dan menyampaikan kepadamu hadits yang bukan haditsmu. Jangan engkau menemui mereka sampai saudaraku—Ali bin Qurrah—datang.”

Ayahnya menjawab, “Aku menghafal haditsku. Aku tidak akan memberi kesempatan mereka melakukannya.” Anaknya berkata, “Aku tidak akan membiarkanmu keluar. Aku tidak merasa aman terhadapmu.”

Qurrah tetap berusaha dan beralasan kepada anaknya untuk keluar, namun anaknya menghalanginya dan beralasan untuk tidak membiarkannya keluar hingga Ali bin Qurrah datang. Akhirnya, anaknya pun berhasil menaklukkan sang ayah.”

Abu Zur’ah berkata, “Kami pun kembali dan duduk hingga anaknya, Ali, tiba.”

Abu Zur’ah berkata, “Aku merasa bangga dengan sikap keras anak wanitanya dalam menjaga ayahnya.” (Su’alat al-Bardza’i, 2/575, Qashash wa Nawadir, Ali ash-Shayyah hlm. 20)

Semoga beberapa contoh kisah ini bisa memberikan gambaran kepada kita tentang kesungguhan mereka dalam memelihara riwayat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu a’lam.

Sumber:

Semangat ‘Ulama Salaf Menjaga Kemurnian ‘Ulama (Sick! Riwayat, dalam Asy-Syariah hal. 19). Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal. Kajian Utama Edisi 61. http://www.asysyariah.com/kajian-utama/94-kajian-utama-edisi-61/827-semangat-ulama-salaf-menjaga-kemurnian-ulama-kajian-utma-edisi-61.html.

Rangkaian Artikel:

Leave a comment