NABI IBRAHIM ‘Alaihissalam


إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . شَاكِراً لِّأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan selalu berpegang kepada kebenaran serta tak pernah meninggalkannya (hanif). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia pun selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah. …” (An-Nahl: 120-121)

NASAB dan KETURUNANNYA

Ibrahim dilahirkan di Babylonia, bagian selatan Mesoptamia (sekarang Irak). Ayahnya bernama Azar, seorang ahli pembuat dan penjual patung.

Nabi Ibrahim berjenggot, sebagaimana dinukil dalam kitab فتح الباري  jilid. 10: 335, terdapat nash yang ditulis: “Memelihara jenggot adalah kesan peninggalan yang diwariskan oleh (Nabi) Ibrahim alaihissalam wa ala nabiyina as salatu wassalam sebagaimana dia mewariskan (wajibnya) jenggot maka begitu juga (wajibnya) berkhitan”.

KEADAAN KAUM NABI IBRAHIM ‘Alaihissalam

Nabi Ibrahim Alaihissalam dihadapkan pada suatu kaum yang rusak, yang dipimpin oleh Raja Namrud, seorang raja yang sangat ditakuti rakyatnya dan menganggap dirinya sebagai Tuhan.

Sejak kecil Nabi Ibrahim Alaihissalam selalu tertarik memikirkan kejadian-kejadian alam. Ia menyimpulkan bahwa keajaiban-keajaiban tsb pastilah diatur oleh satu kekuatan yang Maha Kuasa.

Semakin beranjak dewasa, Ibrahim mulai berbaur dengan masyarakat luas. Salah satu bentuk ketimpangan yang dilihatnya adalah besarnya perhatian masyarakat terhadap patung-patung.

TURUNNYA HIDAYAH ALLAH Subhanahu wata’ala

Nabi Ibrahim Alaihissalam yang telah berketetapan hati untuk menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjauhi berhala.

اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي اْلآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِيْنَ

…Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami karuniakan kepadanya kebaikan di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang yang shalih.(An-Nahl: 121-122)

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam. (Al-Baqarah: 131)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkatnya sebagai khalil (kekasih). Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً

Dan Allah mengangkat Ibrahim sebagai kekasih.”(An-Nisa`: 125)

Dengan sekian keutamaan itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala wahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti agama beliau ‘alaihissalam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.’ Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.(An-Nahl: 123)

BERDAKWAH kepada AYAHnya

Dimulai dari mendakwahkan keluarga kemudian masyarakatnya, rakyat dan pemerintahannya. Hal ini nyata tertera pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga mengandung pelajaran berharga bagi para anak, karena beliau adalah seorang anak yang amat berbakti kepada kedua orangtuanya serta selalu menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan cara yang terbaik (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah (sesembahan-sesembahan). Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”…. Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:”Inilah Rabbku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:”Saya tidak suka kepada yang tenggelam”…. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit dia berkata:”Inilah Rabbku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata:”Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada (Rabb) yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang termasuk mempersekutukan-Nya”. (QS. Al An’am: 74-79)

Di sini beliau menempuh metode paling ampuh dalam berargumen dan debat dalam rangka menegakkan hujjah Allah dan mematahkan kesyirikan dan syubhat-syubhatnya. Dakwah yang kuat dan berapi-api kepada tauhid dan mengajak kepada mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata dan mencampakkan kesyirikan dan memangkasnya dari pokoknya. (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah).

Dan pada surat Maryam ayat 41-50 Allah mengisahkan bagaimana Ibrahim ‘Alaihissalaam berusaha memahamkan ayahnya dengan lemah lembut dan dengan mengemukakan alasan-alasan yang logis dan realistis agar sang ayah menerima hidayah Allah dan shirathal mustaqim. Akan tetapi semua itu dibalas dengan sikap ta’asshub (fanatik buta) yang dibangun di atas kejahilan dan hawa nafsu serta pembangkangan dan kesombongan yang besar (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لاَ يَسْمَعُ وَلاَ يُبْصِرُ وَلاَ يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا. يَا أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا. يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا

Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tiada dapat mendengar, tiada pula dapat melihat dan menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Dzat Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Allah Dzat Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan bagi setan.(Maryam: 42-45)

Ketika sang bapak menyikapinya dengan keras, seraya mengatakan (sebagaimana dalam ayat):

أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيْمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا

Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti (dari menasihatiku) niscaya kamu akan kurajam! Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.(Maryam: 46)

Maka dengan tabahnya Ibrahim ‘alaihissalam menjawab:

سَلاَمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Rabbku*, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri daripadamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku(Maryam: 47-48)

* Meminta ampunan untuk orang kafir tidak diperbolehkan sebagaimana yang Allah jelaskan dalam Al-Qur-an: “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah:114) dan dalam ayat Mumtahanah:4.

Demikianlah seyogianya seorang anak kepada orangtuanya, selalu berupaya memberikan yang terbaik di masa hidupnya serta selalu mendoakannya di masa hidup dan juga sepeninggalnya, dan Allah membalas ketaatannya dengan karunia yang luar biasa. Allah ta’ala berfirman:

Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi. (Maryam: 49-50)

BERDAKWAH kepada KAUMnya

Setelah fase-fase ini, yang dengannya Ibrahim mengajak keluarga dan masyarakatnya kepada tauhid beliau beranjak membawa dakwah yang mulia ini kepada rajanya yang dzalim, thaghut yang mengaku sebagai tuhan dengan segenap keberanian dan kekuatan. Dan hal ini Allah kisahkan di dalam Kitab-Nya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang (Yaitu Namrudz dari Babilonia) yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim mengatakan, “Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu (mengejek seraya) berkata, “Saya dapat menghidupkan (yakni membiarkan orang yang hidup tetap hidup) dan mematikan (membunuh orang yang hidup).” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 258)

Nabi Ibrahim mengajak kaummnya untuk berfikir atas apa yang mereka lakukan, dan atas nikmat-nikmat yang mereka dapatkan. Allah ta’ala befirman:

Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: ‘Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan bertaqwalah kalian kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mau mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian ibadahi selain Allah itu adalah berhala, dan kalian telah membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberi rizki kepada kalian, maka mintalah rizki itu dari sisi Allah dan beribadahlah hanya kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian akan dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka umat sebelum kalian juga telah mendustakan dan kewajiban Rasul itu hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya.(Al-‘Ankabut: 16-18)

Azar sangat marah mendengar pernyataan bahwa anaknya tidak mempercayai berhala yang disembahnya, bahkan mengajak untuk memasuki kepercayaan baru menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ibrahim pun diusir dari rumah.

Faedah:

Pada ayat ini Allah mengisahkan bagaimana Ibrahim mendakwahkan tauhid kepada thagut ini, akan tetapi dia menjadi sombong dari menyambut tauhid dan tidak mau rujuk dari pengakuannya sebagai tuhan. Maka Ibrahim pun mendebatnya dengan hujjah-hujjah yang kuat dan bukti-bukti yang terang dengan mengatakan; “Rabbku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” yakni hanya Dialah Yang Maha Tunggal dalam penciptaan, pengaturan, menghidupkan dan mematikan. Akan tetapi raja sombong lagi bodoh ini justru berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” Yakni saya membunuh siapa saja yang saya ingin bunuh dan saya biarkan hidup siapa saja yang saya ingin dia tetap hidup. Pada jawaban raja sombong ini jelas sekali pengelabuan dan penyesatan orang-orang bodoh dan lari dari jawaban yang sebenarnya. Karena maksud Ibrahim Alaihissalaam adalah bahwa Rabbnya lah yang mengadakan kehidupan pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dari sebelumnya tidak ada, kemudian menjadikannya mati kembali dengan kekuasaan-Nya dan bahwasanya Dia-lah yang mewafatkan manusia dan hewan apabila telah datang masanya dengan sebab-sebab yang tampak atau tidak. Maka tatkala Ibrahim melihat sang raja melakukan pengelabuan dan pembohongan yang mungkin menjebak orang-orang bodoh dan awam, Ibrahim mengemukakan hujjah pamungkas yang menjadikan sang raja terdiam dan menyadari kesalahan pengakuannya sebagai tuhan: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu.” (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah)

Dari sini kita mengetahui bahwa dakwah tauhid adalah andalan segenap anbiya’ dan kebanggaan mereka dengannya mereka menerjang kebatilan, kejahilan dan kesyirikan. Maka tidak mau tahu terhadap ilmu ini merupakan kebodohan yang mematikan dan racun yang membunuh akal dan pikiran. (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah)

Dan pada dakwah Ibrahim kepada rajanya ini terdapat pelajaran yang berharga bagai mereka yang berakal dan mau mengambil pelajaran. Sesungguhnya dakwah tauhid merupakan realisasi dari puncak keikhlasan, kebijaksanaan, kecerdasan, dakwah yang bertolak dari titik yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala inginkan. Bukan ajang perebutan kekuasaan dan bukan pula perlombaan kepada kepemimpinan. Karena apabila ini yang menjadi tujuan Ibrahim tentulah beliau akan menempuh selain manhaj ini dan Ibrahim akan mendapati orang-orang yang mensupport dan mendukungnya. Akan tetapi Allah enggan begitu pula para nabi-Nya dan da’i-da’i yang shalih dari pengikut para nabi yang sesungguhnya di setiap zaman dan segenap negeri kecuali menempuh jalan dakwah menerangkan al hak dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang sombong dan membangkang. (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah)

Sungguh Ibrahim telah menunaikan tugas yang besar ini dengan sebaik-baiknya. Beliau menegakkan hujjah kepada bapaknya dan kaumnya, pemerintah dan rakyatnya. Maka tatkala ia melihat pembangkangan mereka di atas kesyirikan dan kekufuran dan tetap berada di atas kebatilan dan kesesatan beliau pun beranjak mengingkari dan merubah dengan tangan dan kekuatan. (Manhaj Anbiya’ fid Dakwah ilallah)

AYAT ALLAH kepada NABI IBRAHIM ‘Alaihissalam

Memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar kepadanya diperlihatkan kemampuan-Nya menghidupkan makhluk yang telah mati. Tujuannya adalah untuk mempertebal iman dan keyakinannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan ayat-ayat kauniyahnya (tanda-tanda kekuasaanya). Allah ta’ala berfirman:

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah* semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah:260)

* Pendapat diatas adalah menurut At-Thabari dan Ibnu Katsir, sedang menurut Abu Muslim Al Ashfahani pengertian ayat diatas bahwa Allah memberi penjelasan kepada Nabi Ibrahim a.s. tentang cara Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Disuruh-Nya Nabi Ibrahim a.s. mengambil empat ekor burung lalu memeliharanya dan menjinakkannya hingga burung itu dapat datang seketika, bilamana dipanggil. Kemudian, burung-burung yang sudah pandai itu, diletakkan di atas tiap-tiap bukit seekor, lalu burung-burung itu dipanggil dengan satu tepukan/seruan, niscaya burung-burung itu akan datang dengan segera, walaupun tempatnya terpisah-pisah dan berjauhan. Maka demikian pula Allah menghidupkan orang-orang yang mati yang tersebar di mana-mana, dengan satu kalimat cipta hiduplah kamu semua pastilah mereka itu hidup kembali. Jadi menurut Abu Muslim sighat amr (bentuk kata perintah) dalam ayat ini, pengertiannya khabar (bentuk berita) sebagai cara penjelasan. Pendapat beliau ini dianut pula oleh Ar Raz.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk memanggil burung-burung tsb. Atas kuasa-Nya, burung yang sudah mati dan tubuhnya tercampur itu kembali hidup. Hilanglah segenap keragu-raguan hati Ibrahim Alaihissalam tentang kebesaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ibrahim menghancurkan berhala kaum Babylonia

Terus-menerus Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendakwahi Ayah dan kaumnya. Firman Allah ta’ala:

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya: ‘Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya?’ Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Rabb kalian adalah Rabb langit dan bumi, Yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang bisa memberikan bukti atas yang demikian itu. (Al-Anbiya`: 52-56)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berucap dalam hatinya untuk menjalankan tipu dayanya untuk menghancurkan berhala-berhala mereka, sesudah mereka meninggalkan tempat-tempat berhala itu:

Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.’ (Al-Anbiya`: 57)

Ibrahim merencanakan untuk membuktikan kepada kaumnya tentang kesalahan mereka menyembah berhala. Kesempatan itu diperolehnya ketika penduduk Babylonia merayakan suatu hari besar dengan tinggal di luar kota selama berhari-hari. Ibrahim lalu memasuki tempat peribadatan kaumnya.

Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: “Apakah kamu tidak makan (Maksud Ibrahim ‘alaihissalam dengan perkataan itu, ialah mengejek berhala-berhala itu, karena dekat berhala itu banyak diletakkan makanan-makanan yang baik sebagai sajian-sajian-red) ? Kenapa kamu tidak menjawab?” Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (Ash-Shaffat 91-93)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam merusak semua berhala yang ada, kecuali sebuah patung yang besar. Oleh Ibrahim, di leher patung itu dikalungkan sebuah kapak.

Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.(Al-Anbiya`: 58)

Maka kaumnya kaget mendapati Tuhan-Tuhan mereka hancur berantakan. Mereka berkata:

“Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya`: 59)

Lalu mereka teringat dengan pemuda yang giat mencela tradisi dan kebiasaan mereka menyembah berhala. Mereka berkata:

“Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim .” (Al-Anbiya`: 60)

Maka pemimpin mereka menyeruh untuk membawa pemuda tersebut. Mereka berkata:

“(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (Al-Anbiya`: 61)

Setelah didatangkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dihadapan mereka. Mereka bertanya:

“Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”  (Al-Anbiya`: 62)

Ibrahim ‘alaihissalam menjawab:

“Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (Al-Anbiya`: 63)

Maka sebagian di antara mereka terhentak fitrahnya dan menyadari kebodohan mereka yang menyembah berhala yang tidak dapat berbicara, bahkan tidak dapat melindungi diri mereka sendiri, sehingga sebagian mereka berkata:

“Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, (Al-Anbiya`: 64)

Kemudian mereka kembali kepada kesombongan hati-hati mereka karena kebanggan terhadap tradisi/kesukuan mereka dan merasa terhina karena dinasehati oleh golongan yang muda dari mereka, kemudian kepala mereka jadi tertunduk (mereka kembali membangkang setelah sadar, lalu berkata):

“Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (Al-Anbiya`: 65)

Nabi Ibrahim memperhatikan bahwa mereka mengetahui hakekat sesembahan mereka yang lemah dan hina tersebut, kemudian dia bertanya mengapa mereka tetap enggan berpaling dari menyembahnya. Ibrahim berkata:

Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami? (Al-Anbiya`: 66-67)

Lalu, api kemarahan membakar dada-dada mereka atas ucapan Nabi Ibrahim. Mereka berkata:

“Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (Al-Anbiya`: 68)

Lalu mereka melempar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada api yang menyala-nyala. Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, maka Allah jadikan mereka orang-orang yang hina dengan menggagalkan tipu daya mereka. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (Al-Anbiya`: 69)

Kemudian Allah seIamatkan Nabi Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalam ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia, yaitu negeri Syam, termasuk di dalamnya Palestina. Allah memberkahi negeri itu artinya: kebanyakan nabi berasal dan negeri ini dan tanahnyapun subur.

Mukjizat Allah: Api menjadi dingin

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun tetap bersabar dan istiqamah di atas jalan dakwah manakala umatnya melancarkan segala bentuk penentangan dan permusuhan terhadapnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَنْ قَالُوا اقْتُلُوْهُ أَوْ حَرِّقُوْهُ فَأَنْجَاهُ اللهُ مِنَ النَّارِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

Maka tidak ada lagi jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan: ‘Bunuhlah atau bakarlah dia!’, lalu Allah menyelamatkannya dari api (yang membakarnya). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.(Al-‘Ankabut: 24)

Akibat perbuatannya ini, Ibrahim ditangkap dan diadili. Namun ia menyatakan bahwa patung yang berkalung kapak itulah yang menghancurkan berhala-berhala mereka dan menyarankan para hakim untuk bertanya kepadanya. Tentu saja para hakim mengatakan bahwa berhala tidak mungkin dapat ditanyai. Saat itulah Nabi Ibrahim Alaihissalam mengemukakan pemikirannya yang berisi dakwah menyembah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Hakim memutuskan Ibrahim harus dibakar hidup-hidup sebagai hukumannya. Saat itulah mukjizat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala turun. Atas perintah Allah, api menjadi dingin dan Ibrahim pun selamat. api yang merupakan sebab dan pengaruhnya adalah membakar, walaupun ada api tapi kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengizinkan pengaruh dari api ini terjadi maka api tidak akan bisa membakar, sebagaimana yang masyhur dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Sebagai kesimpulan bahwa adanya/terhasilkannya suatu sebab tidak mengharuskan terjadinya pengaruh/efek dari sebab tersebut, tapi semuanya dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kalau Allah inginkan sebab itu berpengaruh maka akan terjadi tapi kalau tidak maka tidak akan terjadi.

Sejumlah orang yang menyaksikan kejadian ini mulai tertarik pada dakwah Ibrahim Alaihissalam, namun mereka merasa takut pada penguasa.

HIJRAH ke HARRAN

Langkah dakwah Nabi Ibrahim Alaihissalam benar-benar dibatasi oleh Raja Namrud dan kaki tangannya. Karena melihat kesempatan berdakwah yang sangat sempit, Ibrahim Alaihissalam meninggalkan tanah airnya menuju Harran, suatu daerah di Palestina. Di sini ia menemukan penduduk yang menyembah binatang. Penduduk di wilayah ini menolak dakwah Nabi Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim Alaihissalam yang saat itu telah menikah dengan Siti Sarah.

HIJRAH ke MESIR

Kemudian berhijrah ke Mesir. Di tempat ini Nabi Ibrahim Alaihissalam berniaga, bertani, dan beternak.

HIJRAH ke PALESTINA

Kemajuan usahanya di Mesir membuat iri penduduk Mesir sehingga ia pun kembali ke Palestina.

Ibrahim menikahi Siti Hajar

Setelah bertahun-tahun menikah, pasangan Ibrahim dan Sarah tak kunjung dikaruniai seorang anak. Untuk memperoleh keturunan, Sarah mengizinkan suaminya untuk menikahi Siti Hajar, pembantu mereka. Dari pernikahan ini, lahirlah Ismail yang kemudian juga menjadi nabi. Tentang ini Allah subhanahu wata’ala berfirman:

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (yakni Nabi Ismail  ‘alaihissalam). (Ash-Shaffat: 100)

MEKKAH, UJIAN ALLAH bagi NABI IBRAHIM, SITI HAJAR dan ISMA’IL

Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga mengandung pelajaran berharga bagi para suami-istri, agar selalu membina kehidupan rumah tangganya di atas ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini tercermin dari dialog antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan istrinya yang bernama Hajar, ketika Nabi Ibrahim membawanya beserta anaknya ke kota Makkah (yang masih tandus dan belum berpenghuni) atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Kemudian Ibrahim membawa Hajar dan sang putra Ismail –dalam usia susuan– menuju Makkah dan ditempatkan di dekat pohon besar, di atas (bakal/calon) sumur Zamzam di lokasi (bakal) Masjidil Haram. Ketika itu Makkah belum berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Maka Ibrahim menyiapkan satu bungkus kurma dan satu qirbah/kantong air, kemudian ditinggallah keduanya oleh Ibrahim di tempat tersebut. Hajar, ibu Ismail pun mengikutinya seraya mengatakan: ‘Wahai Ibrahim, hendak pergi kemana engkau, apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni ini?’ Dia ulang kata-kata tersebut, namun Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Hingga berkatalah Hajar: ‘Apakah Allah yang memerintahkanmu berbuat seperti ini?’ Ibrahim menjawab: ‘Ya.’ Maka (dengan serta-merta) Hajar mengatakan: ‘Kalau begitu Dia (Allah) tidak akan menyengsarakan kami.’ Kemudian Hajar kembali ke tempatnya semula.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, no. 3364)

Inilah dia wanita yang terdidik di atas aqidah yang shahih dan tauhid yang benar dari seorang Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid), sehingga ia mempunyai sikap dan keyakinan bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat taat kepada-Nya. Atas dasar itulah, seorang suami harus berupaya membina istrinya dan menjaganya dari adzab api neraka. Demikian pula sang istri, hendaknya mendukung segala amal shalih yang dilakukan suaminya, serta mengingatkannya bila terjatuh dalam kemungkaran. Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah:

Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Ibrahim: 37)

NABI IBRAHIM ‘Alaihissalam BERKHITAN

Ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam berusia 90 tahun, datang perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ia meng-khitan dirinya, Ismail yang saat itu berusia 13 tahun, dan seluruh anggota keluarganya. Perintah ini segera dijalankan Nabi Ibrahim Alaihissalam dan kemudian menjadi hal yang dijalankan nabi-nabi berikutnya hingga umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.

PERINTAH ALLAH untuk BERQURBAN

Allah subhanhu wata’ala menguji Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk menyembelih anaknya. Allah ta’ala berfirman:

Maka tatkala anak itu (Ismail) telah sampai (pada umur sanggup) untuk berusaha bersama-sama Ibrahim, berkatalah Ibrahim: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaffat: 102-106)

Lalu Allah ‘azza wajalla menggantinya dengan hewan sembelian:

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan (yakni hewan kambing-red) yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 107-109)

Demikianlah sosok Ibrahim, yang senantiasa patuh terhadap segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepadanya walaupun berkaitan dengan diri sang anak yang amat dicintainya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk menjalankan perintah tersebut. Ini tentunya menjadi teladan mulia bagi kita semua, dalam hal ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

KARUNIA ALLAH, SEORANG ANAK BERNAMA ISHAQ

Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamunya. Ketika Allah subhanahu wata’ala hendak mengaruniakan kepadanya seorang anak yang ‘alim yang bernama Ishaq, Allah subhanahu wata’ala mengutus para Malaikat untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada beliau ‘alaihi salam.

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang Zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata. (Ash-Shaaffat: 112-113)

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” maka (maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya-red ) tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. (Huud: 69)

Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Adz-Dzariyat: 27)

Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. (Huud: 70)

Berkata Ibrahim: “Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu.” (Al-Hijr: 52)

Malaikat itu berkata: “Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.” (Huud: 70)

Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’qub. (Huud: 71)

Mereka (Malaikat tersebut) berkata:  “Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim (yakni Ishak ‘alaihissalam-red). (Al-Hijr: 53)

Berkata Ibrahim: “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?” (Al-Hijr: 54)

Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: “(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul.” (Adz-Dzariyat: 29)

Isterinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamikupun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.” (Huud: 72)

Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Huud: 73)

Mereka berkata: “Demikianlah Tuhanmu memfirmankan” Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Adz-Dzariyat: 30)

Mereka menjawab: “Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.” (Al-Hijr: 55)

Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” (Al-Hijr: 56)

Maka tatkala rasa takut hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal jawab dengan (malaikat-malaikat) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah. (Huud: 74)

Berkata (pula) Ibrahim: “Apakah urusanmu yang penting (selain itu), hai para utusan?” (Al-Hijr: 57, Adz-Dzariyat: 31)

mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Ankabut: 31)

Berkata Ibrahim: “Sesungguhnya di kota itu ada Luth.” Para malaikat berkata: “Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia (istri Nabi Luth ‘alaihissalam-red) adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (Al-Ankabut: 32)

Mereka menjawab: “Kami sesungguhnya diutus kepada kaum yang berdosa, kecuali Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan, bahwa sesungguhnya ia itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya).” (Al-Hijr: 58)

(Malaikat itu berkata) Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak. (Huud: 69-76)

Beberapa hikmah dari kisah ini (lihat pula kisah tamu Ibrahim ‘alahissalam pada surat Adz-Dzariyat:24-27-admin) adalah menjamu dan memuliakan tamu merupakan millah (agama, petunjuk) Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, Bersegera dalam menyambut dan menjamu tamu, Menghidangkan kepada tamu dengan hidangan yang paling baik, Meletakkan hidangan tersebut di dekat tamunya, Menyambut/mengajak bicara dengan bahasa yang sopan dan baik.

HAJI di KA’BAH

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga memerintahkan Ibrahim Alaihissalam untuk memperbaiki Ka’bah (Baitullah). Saat itu bangunan Ka’bah sebagai rumah suci sudah berdiri di Mekah.

Allah -Ta’ala- berfirman,

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. Al-Baqoroh: 125)

Bangunan ini diperbaikinya bersama Ismail Alaihissalam, kemudian beliau berharap kebaikan dari Allah atas amalnya tersebut, sebagaimana layaknya .  Hal ini dijelaskan dalam Al Qur’an:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah ayat 127)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.(Al-Hajj: 27-28)

Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Ibadah haji mempunyai hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi serta tujuan yang mulia, dari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لِِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ

Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 28)

Haji merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan mereka semua di waktu dan tempat yang sama. Sehingga terjalinlah suatu perkenalan, kedekatan, dan saling merasakan satu dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya tali persatuan umat Islam, serta terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia mereka.” (Taudhihul Ahkam, juz 4 hal. 4)

Atas semua amal shalih yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Maka Allah membalasnya dengan karunia yang besar. Allah berfirman:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Dia (Allah) berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Dia (Allah) berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. (Al-Baqarah: 124)

DO’A NABI IBRAHIM untuk KOTA MEKKAH

Doa Nabi Ibrahim yang Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam Al-Qur`an:

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (Al-Baqarah: 126)

NABI IBRAHIM MENDAKWAHI KELUARGA dan ANAKnya

Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, merupakan cermin bagi para orangtua dalam perkara pendidikan dan agama anak cucu mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيْمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُ يِا بَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Dan Ibrahim telah mewasiatkan kalimat itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini bagi kalian, maka janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’. (Al-Baqarah: 132)

Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tak segan-segan berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk keshalihan anak cucunya, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam Al-Qur`an:

رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari perbuatan menyembah berhala.(Ibrahim: 35)

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Wahai Rabbku, jadikanlah aku beserta anak cucuku orang-orang yang selalu mendirikan shalat. Wahai Rabb kami, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)

Setiap orangtua mengemban amanat besar untuk menjaga anak cucu dan keluarganya dari adzab api neraka. Sehingga dia harus memerhatikan pendidikan, agama dan ibadah mereka. Sungguh keliru, ketika orangtua acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya. Yang selalu diperhatikan justru kondisi fisik dan kesehatannya, sementara perkara agama dan ibadahnya diabaikan. Ingatlah akan seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari adzab api neraka.(At-Tahrim: 6)

WAFATNYA

Ibrahim Alaihissalam adalah nenek moyang bangsa Arab dan Israel. Keturunannya banyak yang menjadi nabi. Dalam riwayat dikatakan bahwa usia Nabi Ibrahim Alaihissalam mencapai 175 tahun. Kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam terangkum dalam Al Qur’an, diantaranya surat Maryam: 41-48, Al-Anbiyâ: 51-72, dan Al-An’âm: 74-83.

Sumber:

  1. Nabi Ibrahim Alaihissalam. http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/15/ibrahim-ismail/.
  2. Majalah Asy-Syari’ah No. 36/III/1428 H/2007 halaman 5 s.d. 11; Judul: Mendulang Mutiara Hikmah dari Perjalanan Hidup Nabi Ibrahim ‘alaihis salam; Rubrik: Manhaji; URL: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=572. Dan Artikel Asy-Syariah lainnya.
  3. MENELADANI DAKWAH ULULAZMI -Ibrahim Alaihissalaam Da’i kepada Tauhid-. Penulis: Al Ustadz Jafar Salih. http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=443.
  4. Sumber lainnya: http://www.salafy.or.id.
Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya.
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”. Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan-sesembahan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” Mereka berkata: “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.”
Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan-sesembahan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri)”, kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa’at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu” Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?!
Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah sesembahan-sesembahan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya: 51-70)
Demikianlah reformasi Ibrahim sang pahlawan pemberani, nabi yang bijak dan cerdas terhadap kerusakan yang meliputi segenap aspek kehidupan pada masyarakat dan pemerintahan. Bahwasanya Al Qur’an telah menceritakan kepada kita kisah nabi yang mulia ini, imam para nabi bahwa beliau memulai dakwahnya dengan memperbaiki akidah mendakwahkan tauhid dan memerangi kesyirikan. Dan pada kisah selamatnya Ibrahim dari jilatan api yang membakarnya terdapat bukti yang besar akan kenabiannya dan kebenaran dakwahnya dan kebenaran ajaran yang dibawanya dari ajaran tauhid sekaligus juga peristiwa ini sebagai dalil akan batilnya ajaran masyarakat dan pemerintahannya dari ajaran kesyirikan dan kesesatan. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menganugrahkan kepada Ibrahim Alaihissalaam atas dakwahnya yang bijak dan jihad dan pengorbanannya yang besar ini dengan balasan yang besar, Allah berfirman,
“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.” (QS. Al Anbiya: 71-73)

UMRATUL QADHA


Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menunaikan umrah, di bulan Dzul Qa’dah sambil menggiring 70 ekorbinatang kurban.

Mengutus Pelamar sedari Ya’juj

Sesampainya di Ya’juj beliau mulai masuk Makkah dengan senjata pengembara, dan mengutus Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu untuk melamar Maimunah bin Al-Harits Al-‘Amiriyah radhiyallahu ‘anha yang menyerahkan urusannya kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Abbas menikahkannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

THAWAF DI KA’BAH

Setiba di Makkah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada para sahabat agar membuka bahu-bahu mereka dan berlari kecil ketika thawaf. Ini dimaksudkan agar kaum musyrikin melihat ketabahan dan kekuatan kaum muslimin. Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدُمُ عَلَيْكُمْ قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمْ الْحُمَّى. قَالَ: فَأَطْلَعَ اللهُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَلَى ذَلِكَ فَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَرْمُلُوا، وَقَعَدَ الْمُشْرِكُونَ نَاحِيَةَ الْحِجْرِ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِمْ فَرَمَلُوا وَمَشَوْا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ. قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ تَزْعُمُونَ أَنَّ الْحُمَّى وَهَنَتْهُمْ هَؤُلاَءِ أَقْوَى مِنْ كَذَا وَكَذَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tiba dalam keadaan penyakit demam Yatsrib (Madinah) telah melemahkan mereka. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin mengatakan: ‘Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu kaum yang telah dibuat lemah oleh demam.’ Dia berkata: “Maka Allah tampakkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pembicaraan mereka. Lalu beliau perintahkan kepada para sahabatnya agar melakukan ramal (jalan cepat), sementara kaum musyrikin duduk di arah al-hijr (tembok setengah lingkaran) sambil memandangi kaum muslimin. Maka kaum muslimin pun melakukan ramal (jalan dengan cepat) dan Continue reading

Janabah dan Fiqih Seputarnya


Junub secara bahasa merupakan lawan dari qurb dan qarabah yang bermakna dekat, sehingga junub artinya jauh. Istilah junub secara syar’i, diberikan kepada orang yang mengeluarkan mani atau orang yang telah melakukan jima’. Orang yang demikian dikatakan junub dikarenakan menjauhi dan meninggalkan apa yang dilarang pelaksanaannya oleh syariat dalam keadaan junub tersebut. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 16/47)

Telah kita ketahui bahwa di antara hal-hal yang mewajibkan mandi adalah keluar mani, baik karena jima’ atau selainnya (ihtilam), dalam keadaan jaga ataupun tidur, dan bertemunya khitan seorang lelaki dan khitan seorang wanita, baik keluar mani (inzal) ataupun tidak. Pada pembahasan kali ini kita akan membahas permasalahan yang berkaitan dengan janabah ataupun junub.

Dalam pembicaraan tentang janabah dan seorang yang junub, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:

PERKARA YANG DILARANG BAGI ORANG YANG JUNUB

1. Shalat

Haram bagi seorang yang junub untuk melakukan shalat, baik shalat wajib ataukah shalat sunnah/ nafilah. Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat, sedangkan orang yang junub tidak dalam keadaan suci. Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang yang junub untuk bersuci dalam firman-Nya: Continue reading