MENJAGA LISAN, Lidah yang Tak Bertulang


Lidah Tak Bertulang

Lidah Tak Bertulang

Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya (lidah) yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Lisan memang karunia Allah yang demikian besar. Dan ia harus selalu disyukuri dengan sebenar-benarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir.” (Al-Balad: 8-9)

Caranya adalah dengan menggunakan lisan untuk bicara yang baik atau diam. Bukan dengan mengumbar pembicaraan semau sendiri. Pembahasan disini meliputi:


PENTINGNYA MENJAGA LISAN ↑ up

Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu agama yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan lisan. Sedangkan anggota badan yang lainnya tunduk dan takut terhadap lisan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ahmad, Ath-Thayalisi, dan yang lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تَكْفِي اللِّسَانَ، تَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Apabila anak Adam masuk waktu pagi hari, sesungguhnya seluruh anggota tubuhnya mencela lisan. Mereka mengatakan: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah! Karena kami tergantung denganmu. Apabila engkau lurus, niscaya kami pun akan lurus. Apabila engkau bengkok (menyimpang) maka kami pun akan menyimpang’.” (Tahdzirul Basyar min Ushul Asy-Syar, hal. 112)

Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam. Atau kalaupun harus berbicara maka dengan pembicaraan yang baik. Lisan yang kecil ini ibaratnya pedang bermata dua. Jika tidak memberi manfaat kepada pelakunya, maka dia justru akan membinasakan tuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ. كِرَامًا كَاتِبِينَ

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (Al-Infithar: 10-11)

Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata: “Sungguh, as-salafush shalih rahimahumullah telah sepakat bahwa malaikat yang ada di samping kanan seorang hamba adalah malaikat yang akan mencatat seluruh amal kebaikan. Sedangkan malaikat yang ada di samping kirinya adalah malaikat yang akan mencatat amalan kejelekan.” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, 1/336)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan makna ayat tersebut dalam Tafsir-nya: “Amalan kalian pasti akan dihisab. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menugaskan sebagian malaikatnya yang mulia untuk mencatat ucapan dan perbuatan kalian. Mereka (para malaikat itu) mengetahui amalan kalian, baik amalan hati maupun anggota badan. Maka, sepantasnya kalian memuliakan dan menghormati mereka (dengan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, pen.).”

Allah subhanallahu ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Al-Ahzab: 70)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (Muttafaqun ‘alaih, Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Makna hadits ini adalah apabila seorang hamba ingin berbicara, hendaknya dia berpikir terlebih dahulu. Apabila telah nampak jelas baginya bahwa tidak ada kerugian/madharat terhadap dirinya, hendaknya dia mengatakannya. Namun apabila nampak jelas baginya kerugian/madharat atau dia ragu-ragu, maka hendaknya dia diam.” (Syarh Shahih Muslim, 1/222)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Makna hadits tersebut ialah ketika seseorang ingin berbicara hendaknya dia berpikir terlebih dahulu. Jika yakin bahwa ucapannya tidak menimbulkan akibat yang jelek dan tidak menyeretnya pada perkara yang haram atau makruh, hendaknya dia berbicara. Namun apabila perkaranya adalah mubah, yang selamat adalah dia diam, supaya tidak terseret ke dalam perkara yang haram atau makruh.” (Fathul Bari, 13/149)

Lisan (lidah) memang tak bertulang, sekali engkau gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula. Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya.

  • Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan.
  • Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan.
  • Suami istri yang saling mencintai dan saling menyayangi bisa dipisahkan dengan cepat karena lisan.
  • Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan.

Sungguh betapa besar bahaya lisan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6091 dan Muslim no. 6988 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Hadits ini (yakni hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraaan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap maslahatnya, janganlah dia berbicara.” (Al-Adzkar hal. 280, Riyadhus Shalihin no. 1011)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya maka berbicaralah, dan jika dia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak maslahatnya.” (Al-Adzkar hal. 284)

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah, setiap orang yang telah mendapatkan beban syariat, seharusnya menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya. Bila keadaan berbicara dan diam sama maslahatnya, maka sunnahnya adalah menahan lisan untuk tidak berbicara. Karena pembicaraan yang mubah bisa menarik kepada pembicaraan yang haram atau dibenci, dan hal seperti ini banyak terjadi. Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”

BAHAYA LISAN ↑ up

Memang lisan tidak bertulang. Apabila keliru menggerakkannya akan mencampakkan kita dalam murka Allah yang berakhir dengan neraka-Nya. Lisan akan memberikan ta’bir (mengungkapkan) tentang baik-buruk pemiliknya. Inilah ucapan beberapa ulama tentang bahaya lisan:

1. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: “Segala sesuatu akan bermanfaat dengan kadar lebihnya, kecuali perkataan. Sesungguhnya berlebihnya perkataan akan membahayakan.”

2. Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu: “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang yaitu orang yang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”

3. Al-Fudhail rahimahullah: “Dua perkara yang akan bisa mengeraskan hati seseorang adalah banyak berbicara dan banyak makan.”

4. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah: “Awal ibadah adalah diam, kemudian menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya, kemudian menghafalnya lantas menyebarkannya.”

5. Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah: “Diam akan menjaga seseorang dari kesalahan lafadz (ucapan), memelihara dari penyelewangan dalam pembicaraan, dan menyelamatkan dari pembicaraan yang tidak berguna, serta memberikan kewibawaan terhadap dirinya.”

6. Abu Hatim rahimahullah: “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (maslahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (maslahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”

7. Yahya bin ‘Uqbah rahimahullah: “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata: ‘Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, tidak ada sesuatu yang lebih pantas untuk lama dipenjarakan dari pada lisan.”

8. Mu’arrifh Al-‘Ijli rahimahullah: “Ada satu hal yang aku terus mencarinya semenjak 10 tahun dan aku tidak berhenti untuk mencarinya.” Seseorang bertanya kepadanya: “Apakah itu wahai Abu Al-Mu’tamir?” Mua’arrif menjawab: “Diam dari segala hal yang tidak berfaidah bagiku.”

(Lihat Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala karya Abu Hatim Muhamad bin Hibban Al-Busti, hal. 37-42)

9. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu menceritakan bagaimana ketika Iblis la’natullah ‘alaih mengomando bala tentaranya. “Iblis berkata kepada anak buahnya: ‘Berjaga-jagalah kalian pada pos lisan, karena pos tersebut adalah pos yang paling strategis. Doronglah lisannya untuk mengucapkan berbagai perkataan yang akan merugikannya dan tidak akan menguntungkannya. Halangilah hamba itu untuk membiasakan lisannya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti dzikir, istighfar, membaca Al-Qur’an, memberi nasihat, dan berbicara tentang ilmu. Niscaya kalian akan mendapatkan dua hasil besar di pos ini, tidak usah engkau hiraukan hasil manapun yang engkau dapatkan:

a. Dia berbicara dengan kebatilan. Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah saudara dan penolongmu.
b. Dia berdiam diri dari kebenaran. Orang yang tidak berbicara dengan kebenaran adalah saudaramu yang bisu, sebagaimana saudaramu yang pertama tadi, hanya saja dia pandai bicara. Barangkali saudaramu yang bisu ini lebih bermanfaat bagi kalian. Tidakkah kalian dengar ucapan seorang pemberi nasihat [1]: ‘Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang pandai bicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.’

Maka teruslah kalian berjaga di pos itu. Pos yang dia bisa berbicara dengan kebenaran atau menahan diri dari kebatilan. Hiasilah pembicaraan kebatilan kepadanya, dengan segala cara. Takut-takutilah dia untuk menyampaikan kebenaran, dengan segala cara.

Ketahuilah wahai anak-anakku, pos lisan inilah tempat aku berhasil membinasakan anak keturunan Adam dan menyeret mereka ke dalam Jahannam. Betapa banyak korban yang berhasil aku bunuh, aku tawan, atau aku lukai melalui pos ini.” (Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 154-155)

Selanjutnya, Iblis berkata kepada anak buahnya: “Gunakanlah dua senjata yang tidak akan menyebabkan kalian kalah:

a. Lalai dan lengah. Jadikanlah hati mereka berlalu dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalai terhadap akhirat, dengan segala cara. Kalian tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dalam usaha kalian dibandingkan perkara itu. Karena, tatkala hati lalai dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka kalian akan mampu menguasai dan menyesatkannya.
b. Syahwat. Hiasilah syahwat itu dalam hati mereka. Tampakkanlah indahnya syahwat di pelupuk mata mereka. Lalu seranglah mereka dengan dua senjata itu. Kalian tidak memiliki kesempatan yang lebih berharga untuk membinasakan mereka dibandingkan dua kesempatan itu.” (Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 157)

BUAH MENJAGA LISAN ↑ up

Menjaga lisan jelas akan memberikan banyak manfaat. Di antaranya:

1. Akan mendapat keutamaan dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6090 dan Muslim no. 48)

2. Akan menjadi orang yang memiliki kedudukan dalam agamanya. Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab:

“(Orang Islam yang paling utama adalah) orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42)

Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan: “Hadits ini menjelaskan larangan mengganggu orang Islam baik dengan perkataan ataupun perbuatan.” (Bahjatun Nazhirin, 3/8)

3. Mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk masuk ke surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَـحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa menjamin apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yakni lisan), dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yakni kemaluan), niscaya aku menjamin jannah (surga) baginya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Al-Bukhari no. 6088 dan Muslim, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)

Dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidzi no. 2411 dan Ibnu Hibban no. 2546, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan apa yang ada di antara dua rahangnya dan kejahatan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka dia akan masuk surga.”

4. Allah akan mengangkat derajat-Nya dan memberikan ridha-Nya kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ سُخْطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا إِلَى جَهَنَّمَ

“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dia tidak ingat atau pikirkan, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat derajatnya. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dia tidak ingat atau pikirkan, maka dengan sebab itu, dia akan masuk ke dalam Jahannam.” (Muttafaqun ‘alaih,  dari Al-Bukhari no. 6092 dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Sehingga, orang yang bijak adalah orang yang berpikir sebelum berbicara; apakah perkataan yang ingin dia ucapkan akan mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kemurkaan-Nya? Akan mendatangkan keuntungan di akhirat ataukah kerugian?

Dalam riwayat Al-Imam Malik, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (3/11), dari shahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai oleh Allah dan dia tidak menyangka akan sampai kepada apa (yang ditentukan oleh Allah), lalu Allah mencatat keridhaan baginya pada hari dia berjumpa dengan Allah.”

5. Menjaga dirinya dari kejelekan/maksiat yang disebabkan lisan yaitu namimah (adu domba), fitnah (pembunuhan karakter), ghibah (gosip/bergunjing), kadzib (kedustaan), qiila wa qala (katanya dan katanya).

Demikianlah beberapa keutamaan menjaga lisan. Semoga kita diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dan diberi kemampuan untuk mengejar keutamaan tersebut.

Catatan Kaki:

[1] Dia adalah Abu ‘Ali Ad-Daqqaq. Teks ucapannya dinukil dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah hal. 57.

Wallahu a’lam. ↑ up

Sumber:

  1. Lidah Tak Bertulang. Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=129.
  2. Nikmat Lisan, Untuk Apa Kita Gunakan?. Penulis : Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=836.

Leave a comment