Puasa ARAFAH dan 10 Hari Pertama DZULHIJJAH


Pembahasan pada kesempatan ini mencakup keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan amalan-amalan apa saja yang khusus dan umum pada hari-hari tersebut, termasuk keutamaan khusus ibadah Puasa Arafah, serta keutamaan hari idul Adha. Hal-hal khusus mengenai penyembelihan termasuk tauhid, hukum seputar kurban/hadyuh/aqiqah dan tuntunan solat idul Adha dibahas pada artikel tersendiri.

10 HARI PERTAMA DZULHIJJAH

Bulan Dzulhijjah yang datang setelah Syawwal dan Dzulqa’dah adalah bulan yang juga memiliki keutamaan untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya.

Allah jalla wa’ala telah bersumpah dengannya di dalam Al-Qur’an:

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi fajar, dan demi malam-malam yang sepuluh” [Al-Fajr: 1-2]

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

[‘Malam-malam yang sepuluh’ adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana telah masyhur di kalangan ulama. Allah ta’ala bersumpah dengannya karena kemuliaan dan keutamaan padanya, karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala bersumpah dengan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan tidaklah Allah bersumpah kecuali kepada sesuatu yang memiliki keagungan dan kemuliaan, yang hamba-hamba ini akan memberikan perhatian kepadanya. Allah bersumpah dengan (sepuluh hari pertama Dzulhijjah) ini karena kemuliaan dan keutamaan yang ada padanya, agar hamba-hamba ini lebih memperhatikannya. Dan dikatakan juga bahwasanya ini adalah sepuluh hari yang Allah sempurnakan untuk Nabi Musa ‘alaihissalam:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ

“Dan Kami janjikan pada Musa setelah malam tiga puluh dan kami sempurnakan baginya (dengan tambahan) sepuluh malam” [Al-A’raf: 142]

Mereka (sebagian ulama) berkata: ” Wallahu a’lam bahwa sepuluh hari itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. ” Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman: Continue reading

WUDHU’, Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar


Madhmadhah, Istinsyaq, dan Istintsar

Madhmadhah adalah memasukkan air ke dalam mulut, kemudian berkumur-kumur dengannya, lalu disemburkan keluar. (Fathul Bari, 1/335)

Istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung dengan menghirupnya sampai jauh ke dalam hidung.  (al-Mughni, 1/74, Nailul Authar, 1/203)

Istintsar adalah mengeluarkan air dari hidung setelah istinsyaq. (Syarah Shahih Muslim, 3/105)

Bersungguh-sungguh dalam Instinsyaq

Disunnahkan untuk bersungguh-sungguh dalam ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung) kecuali bila sedang puasa. (al-Mughni, 1/74, al-Majmu’ 1/396, Subulus Salam, 1/73, Nailul Authar, 1/212). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَبَالِغْ فِي الْاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam beristinsyaq kecuali bila engkau sedang puasa.” (HR. Abu Dawud no. 123, at-Tirmidzi no. 718, dan selain keduanya, serta disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’us Shahih 1/512)

Madmadah dan istinsyaq dalam satu cidukan tangan kanan

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, Continue reading

Puasa Syawal


Selain kegembiraan di hari awal bulan Syawwal dengan datangnya Idul Fithri, ada keutamaan yang dijanjikan bagi setiap insan beriman di bulan yang datang setelah Ramadhan ini, yaitu disunnahkannya ibadah puasa selama enam hari.

Pensyari’atan Puasa Syawal

Sebenarnya, ulama berbeda pendapat tentang sunnah atau tidaknya puasa ini. Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Dawud, dan orang-orang yang sepakat dengan mereka berpendapat sunnah. Sedangkan Al-Imam Malik dan Abu Hanifah memakruhkannya. Al-Imam Malik berkata dalam Al-Muwaththa`: “Aku tidak melihat seorang pun dari ahlul ilmi yang mengerjakan puasa ini.” Mereka mengatakan: Puasa ini dimakruhkan agar tidak disangka puasa ini termasuk kewajiban (karena dekatnya dengan Ramadhan).

Namun pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat yang mengatakan sunnahnya puasa enam hari di bulan Syawwal, Continue reading

Pembatal Puasa


Sama halnya seperti pembatal-pembatal ibadah lainnya, ulama berbeda pendapat sehingga terdapat pembatal-pembatal puasa yang disepakati dan diperselisihkan, di antaranya:

  • Pembatal puasa yang disepakati
  • Pembatal puasa yang diperselisihkan

Perlu diketahui bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits (ada di Shahih Muslim, Insya-Allah akan datang penjelasannya-red) yang menjelaskan bahwa Allah subhanahu wata’ala telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)

Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan Continue reading