Niat Tidak Perlu Dilafazhkan


Melafazhkan niat sudah trend di Indonesia, baik di kalangan awam maupun kaum santri terpelajar. Seakan perkara ini menjadi suatu kewajiban bagi mereka dan aib jika mereka tidak melafazhkan niatsalah kaprah yang menimbulkan perpecahan yang kita saksikan di Indonesia. ketika ingin melaksanakan sholat, wudhu, dan berbagai macam ibadah lainnya. Bahkan ada sebagian di antara mereka menganggap sholatnya batal jika tidak melafazhkan niat. Tragisnya lagi, jika mereka memutuskan tali persaudaraan lantaran saudaranya yang lain tidak melafazhkan niat. Padahal mereka diperintahkan oleh Allah untuk menyambung tali persaudaraan.

Apa itu Niat ?

Kalau kita membuka kitab-kitab kamus berbahasa arab, maka kita akan jumpai ulama bahasa akan memberikan definisi tertentu bagi niat.

  • Muhammad bin Abu Bakr Ar-Rozy Rahimahullah berkata saat memaknai niat, Meniatkan adalah menginginkan sungguh-sungguh”. [Lihat Mukhtar Ash-Shihah (1/286)]
  • Ibnu Manzhur rahimahullah– berkata, ” Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”. [Lihat Lisan Al-Arab (15/347)]

Dari ucapan dua orang ulama bahasa ini, bisa kita simpulkan bahwa niat (نِيَّةٌ) adalah maksud dan keinginan seseorang untuk melakukan suatu amalan dan pekerjaan. Jadi niat itu merupakan amalan hati.

Komentar Para Ulama tentang Melafazhkan Niat

Para ulama telah membicarakan masalah ini bahwa melafazhkan dan mengeraskan niat tidaklah wajib atau mustahab menurut kesepakatan para ulama kaum muslimin kecuali segelintir di antara mereka dan sebagian orang-orang belakangan ini. Para ulama itu menganggap orang yang mengeraskan niat sebagai ahli bid’ah yang menyelisihi syari’at.

  • Dari kalangan madzhab Malikiyyah, Abu Abdillah Muhammad bin Al-Qosim At-Tunisi rahimahullah– berkata, ” Niat termasuk amalan hati. Mengeraskannya adalah bid’ah, disamping itu mengganggu orang”.
  • Seorang Ulama dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyyah Syaikh Ala’uddin Ibnul Aththor, dari kalangan madzhab Asy-Syafi’i –rahimahullah– berkata, ” Mengeraskan suara ketika berniat disertai gangguan terhadap orang-orang yang sedang sholat merupakan perkara haram menurut ijma’. Jika tidak disertai gangguan, maka ia adalah bid’ah yang jelek. Jika ia maksudkan riya’ dengannya , maka ia haram dari dua sisi, termasuk dosa besar. Orang yang mengingkari seseorang yang berpendapat itu sunnah, orangnya benar. Sedang orang yang membenarkannya keliru. Menisbahkan hal itu kepada agama Allah karena ia yakin itu agama merupakan kekufuran. Tanpa meyakini itu agama, (maka penisbahan itu) adalah ma’shiyat. Wajib bagi orang mu’min yang mampu untuk melarangnya dengan keras, mencegah dan menghalanginya. Perkara ini tidaklah pernah dinukil dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, seorang sahabatnya, dan tidak pula dari kalangan ulama kaum muslimin yang bisa dijadikan teladan”. [Lihat Majmu’Ar-Rosa’il Al-Kubro (1/254-257), di dalamnya disebutkan ucapan kedua ulama di atas]

Mengeraskan dan melafazhkan niat bukanlah termasuk sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan tidak wajib menurut empat ulama’ madzhab baik dalam wudhu’, sholat, shoum maupun ibadah lainnya, bahkan merupakan perkara baru yang diadakan oleh sebagian orang-orang belakangan

  • Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah seorang yang mau melaksanakan sholat mengucapkan sesuatu sebelum takbir?” Jawab beliau, ” Tidak usah! “. [Lihat Masa’il Abi Dawud (hal.31)]
  • Abu Bakr As-Suyuthy rahimahullah-, seorang ulama bermadzhab Syafi’iyyah berkata, “Diantara jenis-jenis bid’ah juga adalah berbisik-bisik ketika berniat sholat. Itu bukanlah termasuk perbuatan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya. Mereka tidaklah pernah mengucapkan niat sholat, selain takbir. Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh pada diri Rasulullah ada contoh yang baik bagi kalian”. Asy-Syafi’iy Radhiyallahu anhu berkata: “Berbisik-bisik ketika berniat sholat, bersuci termasuk bentuk kejahilan terhadap syari’at, dan kerusakan dalam berpikir”. [Lihat Al-Amr bil Ittiba’ (hal. 295-296) karya As-Suyuthiy, dengan tahqiq Masyhur Hasan Salman, cet. Dar Ibn Al-Qoyyim & Dar Ibn Affan]
  • Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Zadul Ma’ad, 1/201): “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan (اللهُ أَكْبَرُ), dan beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tidak pula mengatakan:

أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا

“Aku berniat shalat ini (dzuhur misalnya, pen) menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam,” atau “sebagai makmum.”

Dan beliau tidak mengatakan: أَدَاءً (Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya-red) atau قَضَاءً (Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu-red), tidak pula فَرْضَ الْوَقْتِ (Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya-red). Ini adalah 10 bid’ah (Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan-red), tidak seorangpun yang menukilkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, atau dha’if (lemah), atau musnad (sanad yang bersambung) atau mursal (terputus sanadnya), satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tidak juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tidak seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik, dan tidak pula dari kalangan imam yang empat (Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, pen).

Hanya saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin (orang-orang yang belakangan, pen) salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tidak sama dengan puasa, maka tidaklah seseorang mengawali shalatnya kecuali dengan dzikir,’ maka orang ini menyangka bahwa yang dimaksud adalah melafadzkan niat untuk shalat. Padahal yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adalah takbiratul ihram, bukan yang lainnya.”

  • Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/285): “Ketahuilah bahwa niat itu tempatnya di qalbu (hati), oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (lihat pembahasan lengkapnya tentang hadits ini disini):

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh (Karena Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal-red), oleh karena itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah (Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya-red) untuk mengucapkan:

اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا

“Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka engkau tidak perlu mengucapkan niatmu karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجّ

“Ya Allah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji.”

Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا

“(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu)

  • Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27): “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ

“Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian?” (Al-Hujurat: 16)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ

“Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…” (Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini-red) Dan niat itu tempatnya di hati, berdasarkan hadits:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu)

Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm (Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i-red) ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dalam kitab Al-Umm penyebutan tersebut. Dan melafadzkan niat tidak ada sama sekali dalam ibadah apapun dalam agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ( لَبَّيْكَ حَجًّا ), maka ada 2 kemungkinan:

1. Kata ( حَجًّا ) manshub (Istilah dalam ilmu nahwu-red) sebagai mashdar (maf’ul muthlaq) yaitu ( لَبَّيْكَ أَحُجُّ حَجًّا “(Ya Allah), aku menjawab panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

2. Kata ( حَجًّا ) manshub sebagai maf’ul dari fi’il (نَوَيْتُ ) yaitu (لَبَّيْكَ نَوَيْتُ حَجًّا ) “(Ya Allah), aku menjawab panggilanmu, aku berniat untuk haji.”

Namun ibadah ini (yaitu talbiyah) disamakan dengan ibadah-ibadah lainnya, maka kemungkinan yang pertama yang benar (Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat-red).

Kesalahpahaman Pengikut Jauh Imam Asy-Syafi’i

Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”

Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah ta’ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, *** “Bila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah ta’ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.

Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.

Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –semoga Allah ta’ala meridhainya– tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”

Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat shallallahu ‘alaihi wasallam. *** (Zaadul Ma’ad, 1/201)

Dampak Buruk Melafazhkan Niat

Jika suatu perkara tak ada tuntunannya dari Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabatnya, maka hal itu akan mendatangkan malapetaka dan musibah bagi pelakunya berupa dampak buruk yang kadang tidak terpikir oleh pelakunya. Demikian pula melafazhkan niat banyak memiliki dampak buruk.

Sekarang dengarkan Imam Ibnul Jauzyrahimahullah– mengisahkan nasib orang-orang yang melafazhkan niat seraya berkata,

“Diantara (tipuan setan) itu yaitu tipuannya terhadap mereka ketika berniat sholat. Maka diantara mereka ada yang berkata, “Saya berniat sholat demikian”. Lalu ia ulangi karena ia kira niatnya batal. Padahal niatnya tidak batal, sekalipun ia melafazhkannya. Diantara mereka ada yang bertakbir, lalu ia batalkan. Bertabir lagi , lalu dibatalkan. Jika imam sudah ruku’, maka orang kena was-was inipun bertakbir. Eh, apakah yang menyebabkan hadirnya niat ketika itu ?! Itu tidaklah terjadi kecuali karena Iblis ingin meluputkannya dari fadhilah dan keutamaan. Diantara orang-orang yang kena was-was, ada yang bersumpah dengan nama Allah, “Saya tidak ada akan bertakbir lagi kecuali kali ini”. Ada juga diantara mereka yang bersumpah atas nama Allah akan meninggalkan hartanya, dan mentalaq istrinya. Semua ini merupakan tipu-daya setan. Padahal syari’at itu mudah dan bersih dari bahaya-bahaya seperti ini, dan juga hal ini tak pernah terjadi pada diri Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya sedikitpun”. [Lihat Talbis Iblis (hal.138) karya Ibnul Jauzy]

Orang ini telah dikuasai waswas yang dihembuskan oleh setan ke dalam jiwanya. Sedang waswas ini muncul disebabkan karena niat sebenarnya sudah ada di hati orang waswas ini,namun ia sendiri menyangka niat tak ada di hati, lalu ia hendak menghadirkan niatnya dengan bantuan lisannya. Padahal menghadirkan sesuatu yang sudah ada, itu perkara mustahil. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (18/263-264) oleh Syaikhul Islam]

Alangkah benarnya apa yang ditegaskan oleh seorang ulama Maghrib, Syaikh Muhammad Al-Muntashir Ar-Raisuny–rahimahullah- bahwa orang yang senantiasa melafazhkan niat tidak lepas dari dua kemungkinan, entah dia itu salah jalan, atau dia itu orang yang dikuasai oleh waswas setan yang selalu berusaha untuk mengacaukan ibadah orang dan membisikkan kepadanya bahwa niat harus dilafazhkan dan dikeraskan, tak cukup di hati saja!! Padahal niat itu cukup di hati, tak perlu dibuatkan lafazh tertentu lalu diucapkan atau dijaharkan. [ Lihat Wa Kullu Bid’ah Dholalah, (hal.91-92)]

Banyak orang di negeri kita, ketika ia diberitahu bahwa tak ada sunnah dan contohnya melafazhkan niat saat kalian mau wudhu’ atau sholat karena tak pernah dilakukan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Serta-merta mereka marah dan beralasan,“Siapa yang bilang tak ada contohnya? Inikan madzhab Syafi’iy !!”

Alasan ini tidaklah berdasar karena ada dua hal berikut ini :

Pertama , Madzhab tidaklah bisa dikatakan contoh atau dijadikan dalil sebab dalil menurut para ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’.

Kedua , madzhab Syafi’iy justru sebaliknya menyatakan bahwa niat itu tempatnya di hati, tak perlu dilafazhkan.

Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy–rahimahullah- , seorang pembesar madzhab Syafi’i berkata, ” Kemudian ia berniat. Berniat termasuk fardhu-fardhu sholat karena berdasarkan sabda Nabi, “Sesugguhnya amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang apa yang ia niatkan”, dan karena ia (sholat) juga merupakan ibadah murni (mahdhoh). Maka tidak sah tanpa disertai niat seperti puasa. Sedang tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat dengan hatinya, tanpa lisannya, niscaya cukup. Diantara sahabat kami ada yang berkata, “Dia berniat dengan hatinya, dan melafazhkan (niat) dengan lisan”. Pendapat ini tak ada nilainya karena niat itu adalah menginginkan sesuatu dengan hati”. [Lihat Al-Muhadzdzab (3/168) –Majmu’]

Al-Hafizh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, apabila hendak menunaikan sholat, beliau berkata, “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu apapun sebelumnya, dan tidak melafazhkan niat sama sekali. Beliau tidak berkata, “Usholli lillahi sholatu kadza mustaqbilal qiblah arba’ah raka’at imaman au ma’muman”. Tidak pula berkata, “Ada’an”, dan “qodho’an”, serta tidak pula, “Fardhol Wakti”. Inilah sepuluh bid’ah yang tak pernah dinukil satu lafazhpun oleh seseorang dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam, baik dengan sanad yang shohih,dho’if, musnad, maupun mursal satu lafazhpun. Bahkan tidak pula dari sahabat beliau. Tak pernah dianggap bagus oleh seorang tabi’in, dan maupun Empat Imam Madzhab. Cuma ada sebagian orang-orang belakangan yang tertipu dengan ucapan Asy-Syafi’i Radhiyallahu anhu dalam perkara sholat, “Sesungguhnya sholat itu itu tidaklah seperti puasa. Seseorang tidaklah masuk dalam sholat kecuali dengan dzikir”. Lalu dia menyangka bahwa maksudnya “dzikir” adalah seseorang melafazhkan niat. Padahal Imam Asy-Syafi’i memaksudkan dzikir dengan takbiratul ihram. Tiada lain kecuali itu. Bagaimana mungkin Asy-Syafi’i menganjurkan suatu perkara yang tak pernah dilakukan oleh Nabi dalam satu sholat pun, dan tidak pula seorang diantara para kholifah dan sahabatnya. Inilah petunjuk dan perjalanan hidup mereka. Jika ada yang bisa memperlihatkan kepada kami satu huruf pun dari mereka dalam perkara itu, niscaya kami akan terima dengan pasrah. Tak ada suatu petunjuk pun yang lebih sempurna dari petunjuknya, dan tak ada sunnah kecuali mereka terima dari pemilik syari’at -Shallallahu alaihi wa sallam-”.[Lihat Zaadul Ma’ad (1/21)]

Pendapat yang ditegaskan oleh sebagian kecil dari pengikut madzhab Asy-Syafi’iy dalam masalah ini telah disanggah sendiri oleh Asy-Syairoziy sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Maka kelirulah orang yang menyangka bahwa “bolehnya melafazhkan niat” merupakan madzhab Asy-Syafi’iy dan pengikutnya!! Persangkaan ini kami telah kami bantah secara ilmiah dalam buletin ini pada edisi 09 dengan judul “Melafazhkan Niat, Madzhab Syafi’iyyah?”

Awal Sholat adalah Takbir, Bukan Melafazhkan niat

Takbir merupakan awal gerakan dan perbuatan yang dilakukan dalam sholat, tapi tentunya didahului adanya niat, maksud dan keinginan untuk sholat, tanpa melafazhkan niat karena niat merupakan pekerjaan hati. Kalau niat dilafazhkan, maka tidak lagi disebut “niat”, tapi disebut “an-nuthq” atau “at-talaffuzh” artinya mengucapkan. Semoga dipahami, ini penting!!

Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan takbir merupakan awal gerakan sholat, tanpa didahului melafazhkan dan mengeraskan niat. Diantara dalil-dalil tersebut:

Dari Ummul Mu’minin A’isyah Rodhiyallahu anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ

“Dulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- membuka sholatnya dengan takbir” . [HR.Muslim (498)]

Hadits ini menunjukkan bahwa beliau membuka sholatnya dengan melafazhkan takbir, bukan melafazhkan niat atau seperti melafazhkan ta’awwudz, basmalah atau dzikir yang berbunyi : ilaika anta maqshudi waridhoka anta mathlubi (artinya: Tujuanku hanyalah kepada-Mu, dan ridho-Mu yang aku cari). Semua perkara ini tak ada petunjuknya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Dari sini kita mengetahui dan memastikan bahwa melafazhkan dan menjaharkan niat tak ada tuntunannya dari Nabi. Maka alangkah benarnya apa yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam ketika beliau berkata, “Andaikan seorang diantara mereka hidup seumur Nuh Alaihissalam untuk memeriksa: apakah Rasulullah atau salah seorang sahabatnya pernah melakukan hal itu, niscaya ia tak akan mendapatnya, kecuali ia terang-terangan dusta. Andaikan dalam hal ini ada kebaikannya, niscaya mereka akan mendahului dan menunujuki kita”.[LihatMawarid Al-Aman, (hal.221)]

Ringkasnya , melafazhkan dan mengeraskan niat merupakan perkara baru yang tak ada dasarnya dalam Islam. Jika seseorang mengamalkannya, dia telah menyelisihi petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang tidak pernah mengajarkan perkara itu kepada sahabatnya dan akhir dari pada amalan orang ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ

“Barang siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhory (2697)]

Ibnu Daqiq Al-Iedrahimahullah– berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung diantara kaidah-kaidah agama. Dia termasuk “Jawami’ Al-Kalim” (ucapan ringkas, padat maknanya), yang diberikan kepada Al-Mushthofa -Shallallahu alaihi wa sallam- , karena hadits ini jelas sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”. [Lihat Syarh Al-Arba`in (hal.43)]

Diantara perkara baru yang tertolak amalannya adalah melafazhkan niat dan sejenisnya. [Lihat Al-Ibda’ fi Madhoor Al-Ibtida’ (hal.256-257) oleh Syaikh Ali Mahfuzh, As-Sunan Wa Al-Mubtada’at (hal.45) oleh Syaikh Muhammad bin ahmad Asy-Syuqoiry , Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa Ma La Ashla Lahu (hal.497-498 & 635), Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh Syaikh Ibnu Baz, Tashhih Ad-Du’a (hal.317-318) oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, danAs-Sunan Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.32-36) oleh Amer Abdul Mun’im Salim –rahimahumullah-]


Sumber :

  1. Judul Asli “Salah Kaprah Tentang Niat” dari http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/salah-kaprah-tentang-niat.html, dari Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 108 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
  2. Hukum Melafadzkan Niat. Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=179.
  3. Sifat Shalat Nabi (bagian 1). Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari. http://www.asysyariah.com/syariah/seputar-hukum-islam/573-sifat-shalat-nabi-bagian-1-seputar-hukum-islam-edisi-55.html.

Artikel Terkait:

Leave a comment