Ar-Radha’ (Hukum Penyusuan)


Saat bayi mungil yang didamba sepasang suami istri telah lahir menghiasi hari-hari indah keduanya, seluruh anggota keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Sang ibu mendekatkan sosok mungil itu ke dadanya maka dengan segera mulut kecilnya menempel untuk mulai menyusu. Demikian fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Dengan hikmah-Nya Allah bebankan tugas menyusui itu kepada seorang ibu, setelah sebelumnya Dia Yang Maha Kuasa melengkapi tubuh sang ibu dengan organ menyusui.

Pembahasan disini meliputi:

  • Anjuran Menyusui Selama 2 Tahun Penuh
  • Menyusukan Anak Pada Wanita Lain
  • Mahram Karena Penyusuan (waktu dan kadarnya)
  • Menyusui Setelah Umur 2 Tahun

ANJURAN MENYUSUI SELAMA 2 TAHUN PENUH

Masalah penyusuan ini telah diatur hukum-hukumnya dalam syariat yang mulia ini (diistilahkan dengan Ahkam Ar-Radha’ yakni hukum-hukum penyusuan -red) dan pembahasannya turut mewarnai kitab-kitab para ulama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya yang agung :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوْا أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (pembahasan pemberian nafkah penjelasannya akan datang insya-Allah -admin). Tidaklah satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya [1] , demikian pula seorang ayah [2]. Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama.[3] Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah , maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Al-Baqarah: 233)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan bimbingan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan: “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290)

Menyusui anak selama dua tahun penuh ini bukanlah satu kemestian, sehingga boleh menyapihnya kurang dari dua tahun sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah di atas: “Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/107)

Namun keputusan untuk menyapih ini harus datang dari kedua orang tua dan berdasarkan musyawarah keduanya dengan melihat maslahat (kebaikan) untuk diri si anak (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291).

MENYUSUKAN ANAK PADA WANITA LAIN

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf.” Dari sini kita tahu bolehnya menyusukan anak pada wanita lain. Kebiasaan menyusukan anak pada orang lain ini telah dikenal di kalangan bangsa Arab dan merupakan sesuatu yang lumrah bagi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memiliki beberapa ibu susu, di antaranya Halimah As-Sa’diyyah radhiyallahu ‘anha. Putra beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disusukan pada wanita lain sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي, إِبْرَاهِيْمَ. ثُمَّ دَفَعَهُ إِلىَ أُمِّ سَيْفٍ, اِمْرَأَةِ قَيْنٍ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ سَيْفٍ.

“Tadi malam lahir putraku, maka aku namakan dengan nama ayahku, Ibrahim”. Kemudian beliau menyerahkan Ibrahim, putranya, kepada Ummu Saif, istri Abu Saif seorang pandai besi.” (HR. Al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كاَنَ أَرْحَمُ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالىِ الْمَدِيْنَةِ. فَكاَنَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ. فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ. وَكاَنَ ظِئْرُهُ قَيْنًا. فَيَأُخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ.

“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah Ibrahim putra beliau disusui di sebuah perkampungan yang ada di Madinah. Suatu ketika beliau pergi menjenguk putranya dan kami ikut menyertai. Lalu beliau masuk ke rumah orang tua susu Ibrahim yang penuh dengan asap. Karena memang suami dari ibu susu Ibrahim seorang pandai besi. Beliau pun mengambil putranya dan menciumnya. Setelah itu beliau kembali.” (HR. Muslim no. 2316)

Ketika Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ ابْنِي. وَإِنَّهُ مَاتَ فِي الثَّدْيِ وَإِنَّ لَهُ لَظِئْرَيْنِ تُكَمِّلاَنِ رَضَاعَهُ فِي الْجَنَّةِ

“Anakku Ibrahim meninggal dalam usia menyusui (sumber makanannya adalah air susu) dan di surga ia memiliki dua ibu susu yang akan menyempurnakan penyusuannya.” (HR. Muslim no. 2316)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyusukan anak kepada orang lain.” (Syarah Shahih Muslim, 15/76)

Ulama menyenangi agar wanita yang menyusui si anak adalah wanita yang baik akhlaknya karena penyusuan itu dapat mengubah tabiat (Al-Mughni, 8/155), oleh karena itu mereka membenci bila seorang anak disusui oleh wanita kafir, fasik, jelek akhlaknya atau menderita penyakit berbahaya/ menular. (Taisirul ‘Allam, 2/379)

MAHRAM KARENA PENYUSUAN

Pembahasan mengenai golongan mahram karena penyusuan telah dibahas ketika membahas mengenai pembagian mahram (yakni siapa saja yang haram dinikahi karena persusuan, dan pembahasannya dapat dilihat disini). Adapun yang akan dibahas disini adalah penyebabnya yang menjadikan mahram yaitu waktu terjadinya penyusuan dan kadarnya.

Waktu Terjadinya Penyusuan

Ulama berbeda pendapat dalam masalah pada usia berapa penyusuan seorang anak menjadikan terjalinnya hubungan mahram antara si anak dengan wanita yang menyusuinya, di antaranya:

1. Sebagian ulama berpendapat penyusuan itu seluruhnya membuat terjalinnya hubungan mahram, sama saja apakah terjadinya ketika anak masih kecil ataupun sudah besar, dengan dalil hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang kisah Sahlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyusui Salim maula Abu Hudzaifah, maka Sahlah berkata: “Bagaimana aku menyusuinya sementara dia sudah besar?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan berkata:

(( قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ))

“Aku tahu Salim itu sudah besar.” (HR. Muslim no. 1453)

Mereka juga berdalil dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

….وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“(Diharamkan bagi kalian menikahi)……ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (ibu susu).” (An-Nisa: 23)

2. Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30).

Pendapat yang kedua ini berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan”.

Sebagaimana pendapat ini bersandar dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, di sisi ‘Aisyah ada seorang lelaki yang sedang duduk. Beliau tidak suka melihat hal itu dan terlihat kemarahan di wajah beliau. ‘Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah! Dia saudara laki-lakiku sepersusuan.” Rasulullah menanggapinya dengan menyatakan:

((اُنْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ))

“Perhatikanlah saudara-saudara laki-laki kalian sepersusuan. Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)

Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memastikan perkara menyusui ini, apakah penyusuan itu benar adanya dengan terpenuhi syaratnya yaitu terjadi di masa menyusu dan memenuhi kadar penyusuan. Abu ‘Ubaid berkata: “Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”

Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu berkata dalam Al-Ma‘alim: “Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Penyusuan yang ditetapkan kemahraman dengannya dan dibolehkan khalwat karenanya adalah ketika anak yang disusui masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya karena perutnya masih lemah cukup terisi dengan susu dan dengan air susu ini tumbuhlah dagingnya. Dengan demikian ini jadilah si anak susu seperti bagian dari ibu susunya sehingga ia menyertai anak-anak ibu susu dalam hubungan mahram. Dalam hadits ini (yaitu hadits: فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ di atas -red) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seolah-olah mengatakan: “Tidak ada penyusuan yang teranggap kecuali yang bisa mencukupi dari rasa lapar atau memberi makanan dari rasa lapar.” (Fathul Bari, 9/179)

Jumhur ulama juga berdalil dengan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1162):

((لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَ كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ ))

“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa no. hadits 2150)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)

Demikian pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ummu Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha dan jumhur ulama. Dan ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik dalam satu riwayat. Pendapat Al-Imam Malik yang lain adalah dua tahun dua bulan atau tiga bulan. Abu Hanifah berpendapat dua tahun enam bulan. Zufar ibnul Hudzail berpendapat selama anak itu masih menyusu sampai ia berusia tiga tahun. ( Syarah Shahih Muslim, 10/30)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)

Adapun kisah Sahlah dengan Salim yang menjadi dalil bagi pendapat pertama maka hal itu merupakan pengecualian bagi orang yang keadaannya seperti Sahlah dan Salim, yakni sebelum Allah melarang (karena hikmah-Nya) untuk menjadikan mahram dari anak angkat yang telah dewasa. Lihat pembahasan tentang hal ini dibagian akhir pembahasan.

Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”

‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma pernah berkata: “Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.” Mungkin keduanya memaksudkan usia dua tahun seperti pendapat jumhur ulama, sama saja apakah anak itu telah disapih ataupun belum disapih. Namun mungkin juga yang mereka maksudkan seperti ucapannya Imam Malik di atas, wallahu a`lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291, Aunul Ma’bud, 6/43)

Kadar Penyusuan

Ahli ilmu pun berbeda pendapat dalam masalah kadar penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram.

1. Pendapat pertama: Penyusuan sedikit ataupun banyak itu terjadi akan menyebabkan terjalinnya kemahraman dengan syarat air susu tersebut sampai ke dalam perut. Demikian pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha, Thawus, Ibnul Musayyab, ‘Urwah ibnuz Zubair, Al-Hasan, Mak-hul, Az-Zuhri, Qatadah, Al-Hakam, Hammad, Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ …

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (An-Nisa: 23)

Dalam ayat ini tidak disebutkan jumlah penyusuan yang menyebabkan anak susu haram menikahi ibu susunya. Demikian pula hadits:

فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)

tidak disebutkan berapa kali terjadi penyusuan.

2. Pendapat kedua: Minimal tiga kali penyusuan, sebagaimana pendapat yang lain dari Al-Imam Ahmad, pendapat ahlu dzahir kecuali Ibnu Hazm, pendapat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Jubair, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir dan Abu Sulaiman, berdalil dengan apa yang dipahami dari hadits:

لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)

Ummul Fadhl radhiallahu ‘anha menceritakan: Datang seorang A‘rabi (Arab badui) menemui Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau berada di rumahku. Badui itu berkata: “Wahai Nabiyullah, aku dulunya punya seorang istri, kemudian aku menikah lagi. Maka istri pertamaku mengaku telah menyusui istriku yang baru dengan satu atau dua isapan.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

لا تُحَرِّم الإِمْلاجَةُ وَ الإملاجتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1451)

3. Pendapat ketiga: Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima.

كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.” (Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)

Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Az-Zubair, Asy-Syafi‘i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad. (Lihat Al-Umm, 5/26-27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480-481, Subulus Salam, 3/331-332, Nailul Authar, 6/363)

Dari ketiga pendapat di atas, wallahu a‘lam, yang kuat adalah pendapat ketiga. Adapun ayat yang umum dalam permasalahan ini:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”

dan dalil-dalil umum lainnya, dikhususkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.”

dan dikhususkan dengan hadits ‘Aisyah:

كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”

Namun pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

“Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)

tidak secara jelas menunjukkan tiga dan empat kali penyusuan dapat menyebabkan keharaman, sehingga yang tersisa adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan lima kali susuan, wallahu ta‘ala a‘lam. Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu berkata: “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (10/9).

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim Al-Khiraqi: “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab –pent.) adalah lima kali penyusuan atau lebih.”

Bentuk Satu Kali Penyusuan

Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk satu kali penyusuan:

1. Pendapat pertama: “lima sedotan/isapan”. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Satu isapan dan dua isapan tidaklah mengharamkan.”

2. Pendapat kedua: “lima kali menarik napas”. berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

لاَ تُحَرِّمُ الْإِمْلاَجَةُ وَالْإِمْلاَجَتَانِ

“Satu imlajah dan dua imlajah tidaklah mengharamkan.” (HR. Muslim no. 1451)

Imlaj adalah masuknya puting ke mulut bayi. Selama puting tersebut berada dalam mulutnya walaupun ia telah mengisap seratus kali maka tetap teranggap satu kali susuan. Berdasarkan pendapat ini bila si bayi mengisap puting kemudian menelan susu (ASI), lalu mengisap lagi kemudian menelannya, mengisap lagi lalu menelannya dalam satu napas/tidak diselingi dengan menarik napas, setelahnya ia melepas puting yang dikulumnya (untuk menarik napas), kemudian ia kembali mengisap puting berarti teranggap susuan yang kedua.

3. Pendapat ketiga: “lima kali sajian,” sebagaimana seseorang mengatakan: lima kali makan, maka pasti ada tenggang waktu terputus/terpisahnya susuan kedua dari susuan yang pertama.

Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya yang sangat bernilai, Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (13/430-432): *** “Adapun selama si bayi masih dalam pangkuan ibu yang menyusuinya maka tetap teranggap satu kali susuan. Sebagaimana Anda katakan, “Ini satu hidangan/sajian makan. Ini makan siang atau ini makan malam,” dan yang serupa dengannya. Makan malam bukanlah satu suapan yang Anda angkat ke mulut, tapi banyak suapan. Demikian pula makan pagi (dengan kurma misalnya, pen.), tidak setiap kurma yang Anda telan diistilahkan makan pagi. Namun makan pagi adalah seluruh makanan/kurma yang Anda makan saat itu.

Berdasarkan hal ini, maka yang dimaksud dengan satu penyusuan adalah satu perbuatan dari menyusui yang terpisah dari penyusuan berikutnya/lainnya. Adapun semata melepaskan mulut dari puting tidaklah teranggap satu susuan secara hakiki.

Satu contoh: Bila seorang ibu menyusui seorang bayi pada pagi hari pukul 08.00, setelah itu berhenti. Pukul 09.00 si anak disusui lagi. Nanti pukul 10.00 disusui lagi pada kali yang ketiga. Demikian pula pada pukul 11.00 dan nanti pukul 12.00, maka ini adalah lima kali susuan, walaupun tempat penyusuannya sama.

Adapun mengisap puting kemudian melepaskannya untuk bernapas, lalu kembali menyusu, setelahnya dilepas lagi untuk bernapas, kemudian kembali menyusu, demikian berulang sebanyak lima kali tetapi tetap dalam satu majelis, tidaklah teranggap sebagai lima susuan menurut pendapat ini.” ***

Yang rajih: Bentuk yang ketiga lebih mendekati kebenaran. Sebagaimana pendapat Imam Asy-Syafi’i, dikatakan bahwa bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan. (Al-Umm, 5/27).

Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya, sekalipun ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Lihat Fathul Bari, 9/148, Al-Muhalla, 10/7)

Ragu tentang jumlah penyusuan

Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst

Apabila seseorang ragu tentang jumlah penyusuan, apakah telah sempurna lima kali penyusuan sehingga menjadi haram seperti yang haram karena hubungan nasab ataukah belum, maka kata Ibnu Qudamah rahimahullahu: “Tidaklah ditetapkan keharaman tersebut karena dikembalikan kepada hukum asal.5 Sementara keraguan tidaklah dapat menghilangkan keyakinan sebagaimana bila seseorang ragu telah jatuh talak (cerai) atau tidak maka kembali pada hukum asal tidak ada talak.” (Al-Mughni, 7/537)

Susu hewan

Apabila seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang bukan mahram minum dari susu seekor kambing (yang sama), sapi ataupun unta maka tidaklah hal ini teranggap sebagai satu penyusuan, kata Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu. Namun hal ini hanyalah seperti makanan dan minuman biasa, dan tidak terjalin hubungan mahram antara kedua anak tersebut, karena yang demikian hanya berlaku untuk air susu manusia bukan air susu hewan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”

(Al-Umm, 5/26)

MENYUSUI SETELAH UMUR 2 TAHUN

Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.”[4] (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 104)

Menyusui anak yang sudah besar/dewasa

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:

“Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang disebutkan dalam ayat. Akan tetapi As-Sunnah memberikan batasan lima kali susuan, sebelum anak itu disapih, karena penyusuan sebelum penyapihanlah yang memberi pengaruh hingga menumbuhkembangkan tubuh. Dengan demikian tidaklah teranggap penyusuan yang kurang dari lima susuan dan tidaklah teranggap penyusuan ketika telah besar.

Namun sebagian orang membantah hal ini dengan kisah Salim maula Abu Hudzaifah, di mana sebelumnya Abu Hudzaifah ini mengangkat Salim sebagai anak. Ketika Salim telah besar, istri Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Maka ia pun minta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

أَرْضِعِيْهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ

“Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram baginya (karena telah menjadi ibu susunya).”

Lalu bagaimana menjawab hal ini? Sebagian ulama menjawab bahwa hal ini merupakan kekhususan bagi Salim. Sebagian ulama yang lain mengatakan hal ini mansukh (dihapus hukumnya/tidak berlaku lagi).

Sebagian ulama mengatakan, masalah penyusuan ketika telah besar, hukumnya umum dan jelas tidak terhapus. Pendapat inilah yang benar, akan tetapi hukum umumnya dikhususkan terhadap orang yang keadaannya seperti Salim maula Abu Hudzaifah. Kami tidak mengatakan hukum ini mansukh (terhapus) karena di antara syarat menetapkan mansukhnya suatu hukum adalah adanya pertentangan dengan perkara lain dan tidak mungkin mengumpulkan perkara-perkara yang saling bertentangan tersebut, di samping adanya pengetahuan mana yang paling akhir dari perkara-perkara itu. Kami pun tidak mengatakan hukum ini khusus (bagi Salim saja-red) karena tidak didapatkan satu hukum dalam syariat Islam yang khusus berlaku untuk satu orang selama-lamanya, namun yang ada hanyalah pengkhususan sifat hukum tersebut, karena syariat itu adalah makna-makna yang umum dan sifat-sifat yang umum yakni hukum-hukum syariat berkaitan dengan makna-makna dan sifat-sifat bukan dengan individu-individu.

Dengan demikian tertolaklah bila dikatakan hukum ini khusus bagi seseorang yang bernama Salim dan tidak meliputi orang yang berada dalam makna hukum ini. Dengan demikian, seandainya ada orang yang mengambil seorang anak angkat sehingga anak tersebut sudah seperti anaknya sendiri, bebas keluar masuk menemui keluarganya dan mereka pun menganggapnya seperti bagian dari mereka, (padahal anak angkat itu sudah besar), istri orang ini pun terpaksa menyusui anak angkat tersebut agar ia tetap bisa keluar masuk menemui mereka, maka kami katakan boleh wanita tadi menyusui anak angkat tersebut. Namun hal seperti ini di waktu sekarang tidak mungkin terjadi karena syariat telah membatalkan hukum mengangkat anak (tidak boleh lagi ada anak angkat yang kemudian dinasabkan kepada ayah angkatnya). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسآءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian masuk menemui para wanita (yang bukan mahram).” Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar ?” Beliau menjawab: “Ipar adalah kematian.”

Seandainya ada penyusuan ketika telah besar niscaya Rasulullah akan mengatakan: “Ipar itu hendaklah disusui oleh istri saudara laki-lakinya,” hingga ia bisa masuk menemui istri saudara laki-lakinya tersebut. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan pengarahan dan bimbingan yang demikian itu. Dengan begitu diketahuilah setelah dibatalkannya hukum anak angkat, penyusuan ketika telah besar tidak mungkin didapatkan lagi.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/409-410).  (Pembahaasan  anak angkat, lihat majalah Asy Syariah No. 09/I/1425 H, hal. 74.)

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

[1] Kemudharatan yang diderita sang ibu bisa dengan mencegahnya untuk menyusui anaknya atau si ibu tidak diberikan haknya berupa nafkah dan pakaian atau upah menyusui. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 104)
[2] Dengan si ibu menolak untuk menyusui anaknya karena ingin memudharatkan sang ayah atau ia menuntut tambahan dari apa yang wajib diberikan kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110)
[3] Bila ayah si anak telah meninggal sementara anak itu tidak memiliki harta, maka ahli waris anaklah yang menanggung kewajiban seperti kewajiban sang ayah dengan memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.104)
[4] Bila si anak disusui oleh wanita selain ibunya

Sumber:

  1. Ar-Radha’ (Hukum Penyusuan). Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=200.
  2. Mahram Susuan. Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=210.
  3. Lima Susuan Penyebab Mahram. Sumber bacaan: Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, karya Syaikh Al-Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin (13/430-432). http://asysyariah.com/lima-susuan-penyebab-mahram.html.

2 Responses

  1. apa hukum seorang abang berusia 2 tahun minum susu ibunya yang sedang mengandung dan meneruskan lagi setelah adiknya lahir?

    • Wallahu a’lam. Hukum penyusuan hanya berlaku untuk selain ibu kandung, karena ibu kandung secara otomatis adalah mahram untuk anaknya. Jika yang dimaksud adalah ibu kandung, maka sang ibu telah menjalankan sunnah nabawiyah dan menjaga kesehatan anaknya dengan menyusuinya genap 2 tahun (sebagian ulama berpendapat 30 bulan). Adapun perkara melebihi 2 tahun, maka jawabannya pada ahlinya, dokter anak/kandungan karena disini terdapat perkara yang lain, wallahu a’lam, yaitu manfaat/dampak kepada anak yang berusia lebih dari 2 tahun meminum asi, apakah masih menyehatkan atau kah tidak berpengaruh baik, & dampak kepada sang ibu yang secara lahiriah telah berat fisiknya karena mengandung apalagi ditambah dengan beban menyusui anaknya.

Leave a comment