shalat, SUJUD Menghamba kepada ALLAH تَعَالَى


Sujud secara umum merupakan penyebutan posisi kepala yang menyentuh lantai dengan punggung yang terangkat lebih tinggi dengan mengabaikan posisi tangan dan kaki, dan berlaku bagi manusia dan makhluk lainnya. Sujud adalah bentuk penghambaan, sehingga secara mutlak dilarang bagi seseorang untuk meniatkan sujud kepada selain Allah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Namun, pembahasan di sini hanyalah mencakup gerakan sujud dalam shalat, adapun sujud ibadah di luar shalat yaitu sujud syahwi dan sujud syukur akan datang pembahasan tersendiri tentangnya. Pembahasan sujud dalam shalat meliputi hukumnya, sifatnya, i’tidal dan tenang dalam sujud, sujud wanita, dan doa/dzikir sujud. Berikut pembahasannya:


Hukum Sujud dalam Shalat

Sujud dalam shalat merupakan rukun shalat. Belia shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan:

كان صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يكبر، ويهوي ساجداً

… Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam i’tidal maka beliau bertakbir dan turun untuk sujud. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Hal ini juga sebagaimana perintah beliau kepada orang yang salah shalatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Continue reading

ADZAN: Tuntunan Bagi yang Mendengar Adzan


Ada beberapa perkara yang semestinya dilakukan oleh yang mendengar adzan.

MENJAWAB SERUAN ADZAN DENGAN DZIKIR YANG DICONTOHKAN

Ia mengucapkan semisal yang diucapkan muadzin (menjawab adzan), namun tidak dengan suara keras seperti suaranya muadzin, karena muadzin menyeru/memberitahu orang lain sedangkan dia hanya menjawab muadzin. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/83). Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ

“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang sedang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari no. 611 dan Muslim no. 846)

Ketika muadzin sampai pada pengucapan hay’alatani yaitu kalimat: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ disenangi baginya untuk menjawab dengan hauqalah yaitu kalimat: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمُ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَقاَلَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ؛ ثُمَّ قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ؛ ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؛ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Apabila muadzin mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka salah seorang dari kalian mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Kemudian muadzin mengatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, maka dikatakan, “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah.” Muadzin mengatakan setelah itu, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah”, maka dijawab, “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alash Shalah”, maka dikatakan, “La Haula wala Quwwata illa billah.” Saat muadzin mengatakan, “Hayya ‘Alal Falah”, maka dikatakan, “La Haula wala Quwwata illa billah.” Kemudian muadzin berkata, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, maka si pendengar pun mengatakan, “Allahu Akbar Allahu Akbar.” Di akhirnya muadzin berkata, “La Ilaaha illallah”, ia pun mengatakan, “La Ilaaha illallah” Bila yang menjawab adzan ini mengatakannya dengan keyakinan hatinya niscaya ia pasti masuk surga.” (HR. Muslim no. 848) Continue reading

Shalat Jenazah , Fiqih seputarnya


Setelah sudah tugas memandikan dan mengafani jenazah. Yang tertinggal sekarang adalah menshalati, mengantarkannya ke pekuburan dan memakamkannya.

HUKUM SHALAT JENAZAH

Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah (lihat Al-Hawil Kabir 3/52, Al-Majmu’ 5/169, Al-Minhaj 7/22, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah 1/439, Asy-Syarhul Mumti’ 2/523 -red). Hal ini karena adanya perintah Nabi shallallalhu ‘alaihi wasallam dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِرَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلُّوْا عَلى صَاحِبِكُمْ، فَإِنََّ عَلَيْهِ دَيْنًا. قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: هُوَ عَلَيَّ. قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِالْوَفَاءِ؟ قَالَ: بِالْوَفاَءِ. فَصَلَّى عَلَيْهِ

Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menshalatinya, ternyata beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya.” (HR. An-Nasa`i no. 1960, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih An-Nasa`i.)

Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu: Continue reading